Senin, 25 Oktober 2010

tafsir ayat yang berkenaan dengan wudhu, tayammum dan arah kiblat

Ayat Yang Berkenaan Degan Wudhu


                                                                

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(al-maidah: 6)

Mufradat

Siku : المرافق
Mata kaki : الكَعْبَيْنِ
Buang air atau menyentuh (bercampur) dengan perempuan : ﺍﻠﻨﺴﺂﺀﺍﻮﻠﻤﺘﻢﺍﻟﻐﺂﺀﻂ

Tafsir Ayat
Membawakan kata “mas-hu” (mengusap) dalam ayat wudhu ini, mengandung penertian mengusap anggota yang wajib dibasuh. Di sini ada sesuatu isyarat yang lembut sekali, yang menunjukkan harus ada wajib tertib wudhu, yaitu : pertama-tama membasuh muka, kemudian yang kedua tangan sampai ke siku, lalu mengusap kepala, kemudian kemudian baru membasuh kedua kaki. Inilah tertib wudhu, kendati oleh sebagian pendapat dikatakan bukan wajib, namun ala kulli hal tertib itu diperlukan dan dianjurkan (mandup). Jadi mengikuti Nabi lebih sempurna dan lebih utama .
Adapun pendapat dari Imam Syafi’I sebagaimana diterangkan dalam sunnah (dan sapulah kepalamu),”ba” berarti melengketkan, jadi lengketkanlah sapuanmu itu kepadanya tanpa mengairkan air. Dan ini merupakan isim jenis, sehingga diangap cukup bila telah tercapai sapuan walau secara minimal yaitu dengan disapunya sebagian rambut. Pendapat ini juga dianut Imam Syafi’I, “wa arjulakum ” (dan kakimu) dibaca mansub karena di’athofkan kepada “aidiyakum”, jadi basuhlah, tetapi ada pula yang membaca dengan baris dibawah dengan di’athofkan kepada “ilalka’bain” (sampai dengan mata kaki) artinya termasuk kedua mata kaki itu, sebagaimana diterangkan dalam hadits. Dua mata kaki ialah dua tulang yang tersembul pada setiap pergelangan kaki yang memisah betis dengan tumit. Dan pemisahan diantara tangan dan kaki yang dibasuh dengan rambut yang disapu menunjukkkan diharuskannya (wajib) berurutan dalam membersihkan anggota wudhu itu. Ini juga merupakan pendapat Syafi’I .

Pendapat Mufasir dalam Mengusap Kelapa
Ahli fiqih megatakan telah sepakat, bahwa mengusap kepala itu termasuk salah satu fardhunya wudhu, berdasarkan firman Allah, “dan usaplah kepalamu”. Akan tetapi mereka juga berbeda pendapat tentang ukuran mengusap itu:
a. Ulama Malikiah dan Hanabilah berpendapat wajib mengusap semua kepala, karena ihtiyath.
b. Ulama Hanafiyah berkata: diharuskan mengusap kepala , berdasar fi’liyah Nabi SAW. Yang mengusap ubun-ubunnya.
c. Ulama Syafi’iyah berkata: cukup mengusap sebagian kecil dari kepala , asal sudah bias disebut mengusap, sekalipun misalnya hanya mengusap beberapa utas rambut, asal sudah benar-benar yakin .
Asbabun Nuzul
Pada suatu ketika waktu kalung milik Aisyah istri Rasulullah SAW hilang, sehingga mendatangkan fitnah yang besar. Ketika Rasulullah SAW mengadakan peperangan, kalung Aisyah jatuh dan hilang untuk yang kedua kali, sehingga para sahabat terhalang pulang karena mencari kalung Aisyah tersebut. Melihat kepayahan para sahabat, Abu Bakar berkata: “wahai anakku, setiap kali mengadakan perjalanan kamu selalu menjadi bala, menjengkelkan dan membuat kerugian orang lain”. Ketika itu sahabat akan melakukan shalat, tetapi sulit mencari air. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan Ayat ke-6 yang dengan tegas memberikan keterangan tentang hukum dan cara bertayamum bagi orang yang kesepian air atau me-uzur. Sehubungan dengan turunnya ayat ini Abu Bakar berkata: “sesungguhnya engkau Aisyah pembawa berkah”.
(HR. Thabrani dari Abbad bin Abdillah bin Zubair dari Aisyah).
Dari keteranan ayat diatas perintah wudhu bersamaan dengan perinah shalat wajib(shalat lima waktu), yaitu sat tahun setengah sebelum tahun hijriah.
Adapun syarat-syarat dari whudu tersendiri yaitu:
1. islam.
2. mumayiz, karena wudhu itu merupakan ibadah yang wajib diniati sedangkan orang yang tidak beragama islam dan orang yan belum mumayiz tidak diberi hak untuk berniat.
3. tidak berhadas besar.
4. dengan air suci yangsuci dan mensucikan.
5. tidak ada yang menghalangi sampai air ke kulit, seperti getah dan sebagainya yang melekat di atas kulit anggota whudu.

Adapun hal-hal yang membatalka whudu adalah sebagai berikut:
1. keluar sesuatu dari dua atau salah satuya, baik berupa zat ataupun angin, yang biasa ataupun tidak biasa, seperti darah.
2. hilang akal, hilang akal karena mabuk atau gila. Demikian pula karena tidur. Adapu tidur dengan dengan duduk yang tetap keadaan badannya, tidak membatalkan whudu.
3. bersentuhan kulit laki-laki dengan perempan. Dengan bersentuhan itu batal whudu yang menyentuh dan yang disentuh.
4. menyentuh kemaluan atau dubur dengan telapak tangan. Baik kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain, baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak-anak.

Ayat Yang Berkenaan Dengan Tayammum
             •                                •    • 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(an-nisaa’: 43)

Mufradat
Keadaan mabuk: سُكٰرٰى
Mengerti apa yang kamu ucapkan: ﺘﻌﻠﻤﻮﺍﻤﺍﺘﻘﻮﻠﻮﻦ
Terkecuali sekedar berlalu:ﺇﻻﻋﺍﺑﺮﻯﺴﺑﻴﻞ
Atau menyentuh perempuan: أو لمستم النساء

Tafsir Ayat
ﻮﺇﻦﻜﻧﺘﻢﻤﺮﺿﻲ(dan jika kamu sakit) yakni mengidap penyakit yang bertambah parah jika terkena air, ﺍﻮﻋﻠﻲﺴﻓﺮ (atau dalam perjalanan) artinya dalam berpergian sedangkan kamu dalam keadaan junub atau berhadas besar. “atau seorang diantara kamu datang dari temapt buang air” yakni tempat yang disediakan untuk buang hajat ia berhadas, “atau kamu telah menyentuh permpuan” menurut qiraat “lamastum” itu tanpa alif, dan keduanya yaitu baik pakai alif atau tidak, artinya ialah menyentuh yakni meraba dengan tangan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Umar, juga merupakan pendapat Syafi’I. dan dikaitkan dengan meraba dengan kulit lainnya, sedangkan Ibnu Abbas diberitakan bahwa maksudnya ialah jima’ atau bersetubuh, “kemudian kamu tidak mendapatkan air” untuk bersuci buat shalat yakni setelah berusaha menyelidiki dan mencari. Dan itu tentu mengenai selain orang yang dalam keadaan sakit. “maka bertayammumlah kamu” artinya ambilah setelah masuknya waktu shalat “tanah yang baik” maksudnya ialah suci, lalu pukullah dengan telapak tanganmu dua kali pukulan, “maka sapulah muka dan tanganmu” berikutnya dua sikumu. Mengenai “masaha” atau meyapu, maka kata-kata itu transitif .

Pendapat Mufasir Tentang Mengusap tangan dalam Tayammum
Dalam ayat tayammum itu ialah “turab” (debu) yang bersih, berdasarkan pendapat yang terpilih. Tayammum yang diperintahkan oleh syara itu ialah mempergunakan debu pada dua anggota yang telah ditentukan, dengan niat bersuci, yaitu muka dan kedua tangan. Dan dua tangan ini menurut Hanafiyah harus sampai siku. Dan itula yang benar menurut Syafi’iyah. Tetapi Malikiyah dan Hanabilah cukup sampai pergelangan.
Alasan ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, bahwa “tangan” yang dimaksud dalam firman Allah “maka usaplah wajah-wajahmu dan tangan-tanganmu” itu, meliputi lengan semuanya. Hanya saja tayammum itu sebagai pengganti wudhu .
Asbabun Nuzul
Pada suatu ketika Asla bin Syarik mengadakan perjalanan bersama rasulullah SAW. Dia sedang dalam keadaan junub (hadas besar). Pada waktu itu udara malam sangat dingin, sehinga dia tidak berani mandi dengan air dingin. Dia khawatir kalau jatuh sakit ataupun mati apabila melakukan mandi. Hal yag demikian ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-43 sebagai petunjuk tentang cara menghilangkan hadas besar bagi mereka yang khawatir karena bahaya apabila menggunakan air. Tayammum merupakan jalan pitas untuk menghilangkan hadas besar maupun kecil bagi mereka yang ber-uzur. (HR. Ibnu Marduwaih dari Asla bin Syarik)
Tanah Yang Digunakan Untuk Tayamum
Boleh tayamum dengan tanah yang suci, begitupun dengan segala yang sebangsa tanah seperti pasir, batu, dan bata. Berdasarkan firman Allah SWT: hendaklah kamu bertayamum dengan sha’id yang baik.
Sedangkan ahli-ahli bahasa telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan sa’id itu ialah permukaan bumi, baik ia tanah maupun lainya.

Yang Membatalkannya
Tayamum jadi batal oleh segala yang membatalkan wudhu, karena ia merupakan ganti daripadanya. Begitu pun ia batal disebabkan adanya air bagi orang yang tidak mendapatkannya, atau bila dapat memakainya bagi orang yang tidak sanggup pada mulanya.
Tetapi bila seseorang melakukan shalat degan tayamum kemudian ia menemukan air, atau bila ia dapat mengunakannya setelah shalat selesai, tidaklah wajib ia mengulang walau pun waktu shalat masih ada .


Ayat Yang Berkenaan Dengan Kiblat
    ••                    

Artinya: Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus" .(Al-Baqarah: 142).
Mufradat
Orang-orang yang bodoh: ﺍﻠﺴﻓﻬﺍﺀ
Apakah yang memalingkan mereka: ماولّهم
Timur dan barat: ﺍﻠﻤﺷﺮﻕﻮﺍﻠﻤﻐﺮﺐ

Tafsir Ayat
ﺳﻴﻘﻮﻝﺍﻟﺳﻔﻬﺍﺀﻣﻦﺍﻟﻨﺍﺱ“orang-orang yang bodoh (krang akalnya) diantara manusia” yakni orang-orang yahudi dan kaum musyrik akan mengatakan: ماولهّم “apakah yang memalingkan mereka” yakni Nabi SAW, dan kaum mu’min. عن قبلتهم التي كانو عليها “dari kiblat mereka yang mereka pakai selama ini” maksudnya yang mereka tuju di waktu shalat, yaitu baitul maqdis. Menggunakan “sin” yang menunjukkan masa depan, merupakan pemberitaan tentang peristiwa gaib.
ﻗﻞﷲ ﺍﻠﻤﺷﺮﻕﻮﺍﻠﻤﻐﺮﺐ “katakanlah : milik Allah-lah timur dan barat” maksudnya semua atau mata angina milik Allah belaka, sehingga jika ia menyuruh kita menghadap ke arah mana saja, maka tidak ada yang akan menentangnya. يهدى من يشاء “dia memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakinya” sesuai dengan petunjuknya إلى صراط المتقيم “kejalan yang lurus” yakni agama islam. Termasuk dalam golongan itu ialah kamu sendiri.

Munasabah Ayat
Ayat ini masih sangat erat kaitannya dengan sikap orang-orang Yahudi yang membicarakan dalam ayat-ayat lalu. Agaknya yang menjadi sebab, sehingga ayat ini tidak dimulai dengan huruf (waw), yang antara lain digunakan untuk beralih dari satu uraian keuraian yang lain. Dengan demikian, kuat dugaan yang dimaksud dengan kata as-sufaha adalah orang-orang yahudi. Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas nama mereka, bertujuan memberi sifat as-sufahaa terhadap orang-orang yahudi yang dibicarakan disini. Atau boleh jadi juga untuk memasukan semua orang yang tidak menerima ka’bah sebagai kiblat, atau yang mencemoohkan ka’bah dan mencemookan ummat islam yang mengarah atau thawaf disana .
       •                 •               

Artinya: Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.(Al-Baqarah: 144)
Mufradat
Telah kami lihat perpalingan: نَرَى تقلّب
Maka sungguh kami palingkan kamu: ﻓﻠﻨﻮﻟﻴﻨﻚ
Tafsir Ayat
“sungguh” menyatakan kepastian, “telah kami lihat perpalingan” atau menengadah, “wajahmu ke” arah “langit” menunggu-nunggu kedatangan wahyu dan rindu menerima perintah untuk menghadap Ka’bah. Sebabnya tidak lain karena ia merupakan kiblat Nabi Ibrahim dan lebih mengunggah untuk masuk islamnya orang-orang Arab, “maka sungguh kami palingkan kamu” pindahkan kiblatmu, “kekiblat yang kamu rihoi” yang kamu sukai, “maka palingkanlah wajahmu” artinya menghdaplah diwaktu shalat, “kearah masjidil Haram” yakni Ka’bah, “palingkanlah mukamu” dalam shalat kearahnya! Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al-kitab sama mengetahui bahwa itu pemindahan kiblat kea rah Ka’bah itu benar, tidak disangsikan lagi “dari tuhan mereka” karena didalam kitab-kitab suci mereka dinyatakan bahwa diantara cirri-ciri NAbi SAW. Ialah terjadinya pemindahan kiblat di masa mereka. Dan Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan, jika dengan ta’ maka ditunjukkan kepada “kamu” hai orang-orang beriman, yang mematuhi segala perintah-Nya, sebaliknya bila dengan ya’ maka ditunjukkan kepada orang-orang Yahudi yang menyangkal soal kiblat ini.
Asbabun Nuzul
Rasulullah SAW melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul-Maqdis selama enam belas atau tujuh bulan lamanya. Padahal dalam hati beliau lebih cenderung melakukan shalat menghadap ke ka’bah (Masjidil haram). Pada waktu Rasulullah SAW mendapat perintah untuk melakukan shalat menghadap ke Masjidil Haram kembali, yang pada saat itu shalat yang dilakukan pertama kali adalah shalat ashar, sebagaimana yang ditegaskan pada ayat ke 144, ada seorang sahabat yang pergi ke luar kampong menemui sekelompok kaum muslimin melakukan shalat di Masjid menghadap ke Baitul-Maqdis, yang kala itu mereka sedang melakukan rukuk. Sahabat itu berkata: “Demi Allah aku telah melakukan shalat (ashar) bersama Rasulullah SAW dengan menghadap ke Masjidil-Haram”. Mereka memutar arah kiblat menghadap ke Masjidil-Haram. Dengan demikian itu maka timbullah pemikiran dikalangan ummat islam tentang nasib orang-orang Islam yang telah gugur di kala perintahkan shalat menghadap Baitul-Maqdis. Sehubungan dengan itu maka Allah SWT menurunkan ayat ke-143 sebagai ketegasan bahwa nasib mereka tetap berada di dalam surga lantaran iman mereka tidak disia-siaka oleh Allah SWT. (HR. Bukhari dari Abu Nu’aim dari Zuhair dari Abi Ishak dari Barra’).

Munasabah Ayat
Sebagaimana dengan as-sufaha yang disinggung sebelum ini, lanjutan ayat yang menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang diberi al-kitab yakni Taurat dan Injil menetahui, bahwa berpaling ke Mesjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereke dan juga Tuhan kaum muslimin. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah kekiblat bait, al-Maqdis dan Ka’bah, dan Allah sekali-kali dari apa yang mereka kerjakan termasuk uapaya mereka menyembunyikan kebeneran itu .
                   
                 ••               

Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.(Al-Baqarah: 149-150).
Mufradat
Maka paligkanlah wajahmu : فولِّ وَجْهَكَ
Maka janganlah kamu takut kepada mereka : فلا تخشوهم
Dan akan ku sempurnakan nikmatku : ولأتمَّ نِعْمَتِي
Tafsir Ayat
Dan dari mana saja kamu kamu keluar utuk suatu perjalanan maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. dan sesungguhnya itu merupakan ketentuan yag hak dari tuhanmu, dan Allah tidak lalai terhadap apa yang kamu kerjakan. Dibaca dengan ta’ dan ya’. Ayat ini telah kita temui dulu, dan diulang-ulang untuk menyatakan persamaan dalam perjalanan dan lainnya.
“dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah mukamu ke arahnya!). diulang-ulang untuk memperkuat, “agar tidak ada bagi manusia” baik Yahudi maupun orang-orang Musyrik, “hujjah atas kamu” maksudnya alasan agar kamu meninggalkan dan berpaling ke arah yang lainnya, yakni untuk menyangkal perdebatan mereka kepada kamu, misalnya kata orang-orang Yahudi: “disangkalnya agama kita tetapi diikutinya kiblat kita”, dan kata orang-orang Musyrik: “diakuinya agama ibrahim tetapi disalahinya kiblatnya”. “kecuali orang-orang yang aniaya di antara mereka” disebabkan keingkaran, merek mengtakan bahwa berpalingna Muhammad ke ka’bah itu sebabnya itu tidak lain hanyalah karena kecenderungannya pada agama nenek moyangnya. “istisna” atau pegecualian disini adalah “muttasil” atau berhubungan, dan maksudnya tidak ada omelan seorang kepadamu, selain omelan mereka itu. “maka janganlah kamu takut kepada mereka” maksudnya teramat khawatir disebabkan peralihan kiblat itu, “ tetapi takutlah kepada-Ku” yaitu mengikuti segala perintah-Ku, “dan agar Kusempurnakan “ ‘athaf atau dihubungkan pada “li alla yakuna”, “nikmatk-Ku kepadamu” dengan menuntunmu pada pokok agamamu, “dan uapaya kamu beroleh petunjuk” pada kebenaran.

Asbabun Nuzul
Ayat ke150 diturunkan sehubungan dengan peristiwa yang menyangkut diri Rasulullah SAW . pada suatu ketika Rasulullah SAW memindahkan arah kiblat dari Baitul-Maqdis ke arah Masjidil-Haram, sehingga orang-orang musyrik mengatakan: “sesungguhnya kini Muhammad dibingungkan oleh ajaran agamanya. Dia memindahkan kiblatnya kea rah kiblat kita (Baitul-Maqdis). Sesungguhnya kitalah yang lebih pantas mendapat petunjuk, dan Muhammad kini sudah akan mengikuti agama kita. Ayat ini dturunkan oleh Allah SWT sebagai perintah bagi mereka. Orang-orang yang beriman tidak perlu merasa takut terhadap caci makian orang-orang yang musyrik. (HR. Ibnu Jarir dari Suddi melalui sanad-sanadnya).

Dari seluruh riwayat yang berkaitan dengan peristiwa ini dapat disimpulkan secara global bahwa semenjak diwajibkan shalat kaum muslimin di mekkah menghadap ke ka’bah, tentang hal ini tidak ditegaskan al-qur’an, dan sesudah hijrah mereka menghadap ke baitul maqdis atas perintah Ilahi kepada Rasulullah SAW, tetapi perintah ini tidak melalui al-qur’an. Kemudian turun perintah terakhir melalui al-qur’an yang menghapuskannya:
“…palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya..”(144)
Bagaimanapun, meghadap ke Baitul Maqdis, yaitu kiblat para Ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani menjadi factor penyebab orang-orang yahudi memanfaatkan hal ini sebagai alasan untuk bersikap arogan dan enggan masuk ke dalam islam

Munasabah Ayat
Awal ayat ini sama saja redakasinya dengan ayat semua ayat yang lalu, dengan tambahan dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya.
Dengan demikian, ayat ini sudah mencapuk semua tempat dan keadaan. Dari mana saja engkau keluar wahai Muhammad, dari Madinah menuju Mekkah, atau ke Thaif, atau Humain, atau kemana saja, maka arahkanlah wajahmu ke sana. Bukan hanya engkau, ummatmu pun demikian. Di mana saja mereka berada, di Mekkah, atau jakarta, atau di mana saja, disetiap daerah walau terasing atau terpencil, mereka semua ketika shalat harus mengarah kiblat ke Ka’bah.
Di sini terlihat sekali lagi bahwa walaupun pengalihan kiblat ke Ka’bah bermula dari keinginan Nabi Muhammad saw. Dan atas pertimbangan beliau, namun berakhir dengan perintah mengarah kepada semua ummat Islam. Kedudukan dan cinta Allah kepada nabi-Nya ditunjukkan-Nya disini tercermin pula ayat-ayat ini. Itu pula sebabnya sehingga redaksi yang digunakan silih berganti antara redaksi yang bentuk tunggal, yang tertuju kepada Nabi Muhammad saw. Dengan redaksi yang berbentuk jamak untuk seluruh ummatnya. (perhatikan ayat 144-149 dan 150) demikian perintah pengalihan kiblat tertuju kepada Nabi Muhammad saw. Dan ummatnya kapan dan di manapun mereka berada .

tafsir ayat yang berkenaan dengan wudhu, tayammum dan arah kiblat

Ayat Yang Berkenaan Degan Wudhu


                                                                

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(al-maidah: 6)

Mufradat

Siku : المرافق
Mata kaki : الكَعْبَيْنِ
Buang air atau menyentuh (bercampur) dengan perempuan : ﺍﻠﻨﺴﺂﺀﺍﻮﻠﻤﺘﻢﺍﻟﻐﺂﺀﻂ

Tafsir Ayat
Membawakan kata “mas-hu” (mengusap) dalam ayat wudhu ini, mengandung penertian mengusap anggota yang wajib dibasuh. Di sini ada sesuatu isyarat yang lembut sekali, yang menunjukkan harus ada wajib tertib wudhu, yaitu : pertama-tama membasuh muka, kemudian yang kedua tangan sampai ke siku, lalu mengusap kepala, kemudian kemudian baru membasuh kedua kaki. Inilah tertib wudhu, kendati oleh sebagian pendapat dikatakan bukan wajib, namun ala kulli hal tertib itu diperlukan dan dianjurkan (mandup). Jadi mengikuti Nabi lebih sempurna dan lebih utama .
Adapun pendapat dari Imam Syafi’I sebagaimana diterangkan dalam sunnah (dan sapulah kepalamu),”ba” berarti melengketkan, jadi lengketkanlah sapuanmu itu kepadanya tanpa mengairkan air. Dan ini merupakan isim jenis, sehingga diangap cukup bila telah tercapai sapuan walau secara minimal yaitu dengan disapunya sebagian rambut. Pendapat ini juga dianut Imam Syafi’I, “wa arjulakum ” (dan kakimu) dibaca mansub karena di’athofkan kepada “aidiyakum”, jadi basuhlah, tetapi ada pula yang membaca dengan baris dibawah dengan di’athofkan kepada “ilalka’bain” (sampai dengan mata kaki) artinya termasuk kedua mata kaki itu, sebagaimana diterangkan dalam hadits. Dua mata kaki ialah dua tulang yang tersembul pada setiap pergelangan kaki yang memisah betis dengan tumit. Dan pemisahan diantara tangan dan kaki yang dibasuh dengan rambut yang disapu menunjukkkan diharuskannya (wajib) berurutan dalam membersihkan anggota wudhu itu. Ini juga merupakan pendapat Syafi’I .

Pendapat Mufasir dalam Mengusap Kelapa
Ahli fiqih megatakan telah sepakat, bahwa mengusap kepala itu termasuk salah satu fardhunya wudhu, berdasarkan firman Allah, “dan usaplah kepalamu”. Akan tetapi mereka juga berbeda pendapat tentang ukuran mengusap itu:
a. Ulama Malikiah dan Hanabilah berpendapat wajib mengusap semua kepala, karena ihtiyath.
b. Ulama Hanafiyah berkata: diharuskan mengusap kepala , berdasar fi’liyah Nabi SAW. Yang mengusap ubun-ubunnya.
c. Ulama Syafi’iyah berkata: cukup mengusap sebagian kecil dari kepala , asal sudah bias disebut mengusap, sekalipun misalnya hanya mengusap beberapa utas rambut, asal sudah benar-benar yakin .
Asbabun Nuzul
Pada suatu ketika waktu kalung milik Aisyah istri Rasulullah SAW hilang, sehingga mendatangkan fitnah yang besar. Ketika Rasulullah SAW mengadakan peperangan, kalung Aisyah jatuh dan hilang untuk yang kedua kali, sehingga para sahabat terhalang pulang karena mencari kalung Aisyah tersebut. Melihat kepayahan para sahabat, Abu Bakar berkata: “wahai anakku, setiap kali mengadakan perjalanan kamu selalu menjadi bala, menjengkelkan dan membuat kerugian orang lain”. Ketika itu sahabat akan melakukan shalat, tetapi sulit mencari air. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan Ayat ke-6 yang dengan tegas memberikan keterangan tentang hukum dan cara bertayamum bagi orang yang kesepian air atau me-uzur. Sehubungan dengan turunnya ayat ini Abu Bakar berkata: “sesungguhnya engkau Aisyah pembawa berkah”.
(HR. Thabrani dari Abbad bin Abdillah bin Zubair dari Aisyah).
Dari keteranan ayat diatas perintah wudhu bersamaan dengan perinah shalat wajib(shalat lima waktu), yaitu sat tahun setengah sebelum tahun hijriah.
Adapun syarat-syarat dari whudu tersendiri yaitu:
1. islam.
2. mumayiz, karena wudhu itu merupakan ibadah yang wajib diniati sedangkan orang yang tidak beragama islam dan orang yan belum mumayiz tidak diberi hak untuk berniat.
3. tidak berhadas besar.
4. dengan air suci yangsuci dan mensucikan.
5. tidak ada yang menghalangi sampai air ke kulit, seperti getah dan sebagainya yang melekat di atas kulit anggota whudu.

Adapun hal-hal yang membatalka whudu adalah sebagai berikut:
1. keluar sesuatu dari dua atau salah satuya, baik berupa zat ataupun angin, yang biasa ataupun tidak biasa, seperti darah.
2. hilang akal, hilang akal karena mabuk atau gila. Demikian pula karena tidur. Adapu tidur dengan dengan duduk yang tetap keadaan badannya, tidak membatalkan whudu.
3. bersentuhan kulit laki-laki dengan perempan. Dengan bersentuhan itu batal whudu yang menyentuh dan yang disentuh.
4. menyentuh kemaluan atau dubur dengan telapak tangan. Baik kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain, baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak-anak.

Ayat Yang Berkenaan Dengan Tayammum
             •                                •    • 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub , terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.(an-nisaa’: 43)

Mufradat
Keadaan mabuk: سُكٰرٰى
Mengerti apa yang kamu ucapkan: ﺘﻌﻠﻤﻮﺍﻤﺍﺘﻘﻮﻠﻮﻦ
Terkecuali sekedar berlalu:ﺇﻻﻋﺍﺑﺮﻯﺴﺑﻴﻞ
Atau menyentuh perempuan: أو لمستم النساء

Tafsir Ayat
ﻮﺇﻦﻜﻧﺘﻢﻤﺮﺿﻲ(dan jika kamu sakit) yakni mengidap penyakit yang bertambah parah jika terkena air, ﺍﻮﻋﻠﻲﺴﻓﺮ (atau dalam perjalanan) artinya dalam berpergian sedangkan kamu dalam keadaan junub atau berhadas besar. “atau seorang diantara kamu datang dari temapt buang air” yakni tempat yang disediakan untuk buang hajat ia berhadas, “atau kamu telah menyentuh permpuan” menurut qiraat “lamastum” itu tanpa alif, dan keduanya yaitu baik pakai alif atau tidak, artinya ialah menyentuh yakni meraba dengan tangan. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Umar, juga merupakan pendapat Syafi’I. dan dikaitkan dengan meraba dengan kulit lainnya, sedangkan Ibnu Abbas diberitakan bahwa maksudnya ialah jima’ atau bersetubuh, “kemudian kamu tidak mendapatkan air” untuk bersuci buat shalat yakni setelah berusaha menyelidiki dan mencari. Dan itu tentu mengenai selain orang yang dalam keadaan sakit. “maka bertayammumlah kamu” artinya ambilah setelah masuknya waktu shalat “tanah yang baik” maksudnya ialah suci, lalu pukullah dengan telapak tanganmu dua kali pukulan, “maka sapulah muka dan tanganmu” berikutnya dua sikumu. Mengenai “masaha” atau meyapu, maka kata-kata itu transitif .

Pendapat Mufasir Tentang Mengusap tangan dalam Tayammum
Dalam ayat tayammum itu ialah “turab” (debu) yang bersih, berdasarkan pendapat yang terpilih. Tayammum yang diperintahkan oleh syara itu ialah mempergunakan debu pada dua anggota yang telah ditentukan, dengan niat bersuci, yaitu muka dan kedua tangan. Dan dua tangan ini menurut Hanafiyah harus sampai siku. Dan itula yang benar menurut Syafi’iyah. Tetapi Malikiyah dan Hanabilah cukup sampai pergelangan.
Alasan ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, bahwa “tangan” yang dimaksud dalam firman Allah “maka usaplah wajah-wajahmu dan tangan-tanganmu” itu, meliputi lengan semuanya. Hanya saja tayammum itu sebagai pengganti wudhu .
Asbabun Nuzul
Pada suatu ketika Asla bin Syarik mengadakan perjalanan bersama rasulullah SAW. Dia sedang dalam keadaan junub (hadas besar). Pada waktu itu udara malam sangat dingin, sehinga dia tidak berani mandi dengan air dingin. Dia khawatir kalau jatuh sakit ataupun mati apabila melakukan mandi. Hal yag demikian ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-43 sebagai petunjuk tentang cara menghilangkan hadas besar bagi mereka yang khawatir karena bahaya apabila menggunakan air. Tayammum merupakan jalan pitas untuk menghilangkan hadas besar maupun kecil bagi mereka yang ber-uzur. (HR. Ibnu Marduwaih dari Asla bin Syarik)
Tanah Yang Digunakan Untuk Tayamum
Boleh tayamum dengan tanah yang suci, begitupun dengan segala yang sebangsa tanah seperti pasir, batu, dan bata. Berdasarkan firman Allah SWT: hendaklah kamu bertayamum dengan sha’id yang baik.
Sedangkan ahli-ahli bahasa telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan sa’id itu ialah permukaan bumi, baik ia tanah maupun lainya.

Yang Membatalkannya
Tayamum jadi batal oleh segala yang membatalkan wudhu, karena ia merupakan ganti daripadanya. Begitu pun ia batal disebabkan adanya air bagi orang yang tidak mendapatkannya, atau bila dapat memakainya bagi orang yang tidak sanggup pada mulanya.
Tetapi bila seseorang melakukan shalat degan tayamum kemudian ia menemukan air, atau bila ia dapat mengunakannya setelah shalat selesai, tidaklah wajib ia mengulang walau pun waktu shalat masih ada .


Ayat Yang Berkenaan Dengan Kiblat
    ••                    

Artinya: Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus" .(Al-Baqarah: 142).
Mufradat
Orang-orang yang bodoh: ﺍﻠﺴﻓﻬﺍﺀ
Apakah yang memalingkan mereka: ماولّهم
Timur dan barat: ﺍﻠﻤﺷﺮﻕﻮﺍﻠﻤﻐﺮﺐ

Tafsir Ayat
ﺳﻴﻘﻮﻝﺍﻟﺳﻔﻬﺍﺀﻣﻦﺍﻟﻨﺍﺱ“orang-orang yang bodoh (krang akalnya) diantara manusia” yakni orang-orang yahudi dan kaum musyrik akan mengatakan: ماولهّم “apakah yang memalingkan mereka” yakni Nabi SAW, dan kaum mu’min. عن قبلتهم التي كانو عليها “dari kiblat mereka yang mereka pakai selama ini” maksudnya yang mereka tuju di waktu shalat, yaitu baitul maqdis. Menggunakan “sin” yang menunjukkan masa depan, merupakan pemberitaan tentang peristiwa gaib.
ﻗﻞﷲ ﺍﻠﻤﺷﺮﻕﻮﺍﻠﻤﻐﺮﺐ “katakanlah : milik Allah-lah timur dan barat” maksudnya semua atau mata angina milik Allah belaka, sehingga jika ia menyuruh kita menghadap ke arah mana saja, maka tidak ada yang akan menentangnya. يهدى من يشاء “dia memberi petunjuk kepada orang yang dikehendakinya” sesuai dengan petunjuknya إلى صراط المتقيم “kejalan yang lurus” yakni agama islam. Termasuk dalam golongan itu ialah kamu sendiri.

Munasabah Ayat
Ayat ini masih sangat erat kaitannya dengan sikap orang-orang Yahudi yang membicarakan dalam ayat-ayat lalu. Agaknya yang menjadi sebab, sehingga ayat ini tidak dimulai dengan huruf (waw), yang antara lain digunakan untuk beralih dari satu uraian keuraian yang lain. Dengan demikian, kuat dugaan yang dimaksud dengan kata as-sufaha adalah orang-orang yahudi. Bahwa ayat ini tidak menyebut secara tegas nama mereka, bertujuan memberi sifat as-sufahaa terhadap orang-orang yahudi yang dibicarakan disini. Atau boleh jadi juga untuk memasukan semua orang yang tidak menerima ka’bah sebagai kiblat, atau yang mencemoohkan ka’bah dan mencemookan ummat islam yang mengarah atau thawaf disana .
       •                 •               

Artinya: Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit , Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.(Al-Baqarah: 144)
Mufradat
Telah kami lihat perpalingan: نَرَى تقلّب
Maka sungguh kami palingkan kamu: ﻓﻠﻨﻮﻟﻴﻨﻚ
Tafsir Ayat
“sungguh” menyatakan kepastian, “telah kami lihat perpalingan” atau menengadah, “wajahmu ke” arah “langit” menunggu-nunggu kedatangan wahyu dan rindu menerima perintah untuk menghadap Ka’bah. Sebabnya tidak lain karena ia merupakan kiblat Nabi Ibrahim dan lebih mengunggah untuk masuk islamnya orang-orang Arab, “maka sungguh kami palingkan kamu” pindahkan kiblatmu, “kekiblat yang kamu rihoi” yang kamu sukai, “maka palingkanlah wajahmu” artinya menghdaplah diwaktu shalat, “kearah masjidil Haram” yakni Ka’bah, “palingkanlah mukamu” dalam shalat kearahnya! Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al-kitab sama mengetahui bahwa itu pemindahan kiblat kea rah Ka’bah itu benar, tidak disangsikan lagi “dari tuhan mereka” karena didalam kitab-kitab suci mereka dinyatakan bahwa diantara cirri-ciri NAbi SAW. Ialah terjadinya pemindahan kiblat di masa mereka. Dan Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan, jika dengan ta’ maka ditunjukkan kepada “kamu” hai orang-orang beriman, yang mematuhi segala perintah-Nya, sebaliknya bila dengan ya’ maka ditunjukkan kepada orang-orang Yahudi yang menyangkal soal kiblat ini.
Asbabun Nuzul
Rasulullah SAW melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul-Maqdis selama enam belas atau tujuh bulan lamanya. Padahal dalam hati beliau lebih cenderung melakukan shalat menghadap ke ka’bah (Masjidil haram). Pada waktu Rasulullah SAW mendapat perintah untuk melakukan shalat menghadap ke Masjidil Haram kembali, yang pada saat itu shalat yang dilakukan pertama kali adalah shalat ashar, sebagaimana yang ditegaskan pada ayat ke 144, ada seorang sahabat yang pergi ke luar kampong menemui sekelompok kaum muslimin melakukan shalat di Masjid menghadap ke Baitul-Maqdis, yang kala itu mereka sedang melakukan rukuk. Sahabat itu berkata: “Demi Allah aku telah melakukan shalat (ashar) bersama Rasulullah SAW dengan menghadap ke Masjidil-Haram”. Mereka memutar arah kiblat menghadap ke Masjidil-Haram. Dengan demikian itu maka timbullah pemikiran dikalangan ummat islam tentang nasib orang-orang Islam yang telah gugur di kala perintahkan shalat menghadap Baitul-Maqdis. Sehubungan dengan itu maka Allah SWT menurunkan ayat ke-143 sebagai ketegasan bahwa nasib mereka tetap berada di dalam surga lantaran iman mereka tidak disia-siaka oleh Allah SWT. (HR. Bukhari dari Abu Nu’aim dari Zuhair dari Abi Ishak dari Barra’).

Munasabah Ayat
Sebagaimana dengan as-sufaha yang disinggung sebelum ini, lanjutan ayat yang menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang diberi al-kitab yakni Taurat dan Injil menetahui, bahwa berpaling ke Mesjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereke dan juga Tuhan kaum muslimin. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah kekiblat bait, al-Maqdis dan Ka’bah, dan Allah sekali-kali dari apa yang mereka kerjakan termasuk uapaya mereka menyembunyikan kebeneran itu .
                   
                 ••               

Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.(Al-Baqarah: 149-150).
Mufradat
Maka paligkanlah wajahmu : فولِّ وَجْهَكَ
Maka janganlah kamu takut kepada mereka : فلا تخشوهم
Dan akan ku sempurnakan nikmatku : ولأتمَّ نِعْمَتِي
Tafsir Ayat
Dan dari mana saja kamu kamu keluar utuk suatu perjalanan maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram. dan sesungguhnya itu merupakan ketentuan yag hak dari tuhanmu, dan Allah tidak lalai terhadap apa yang kamu kerjakan. Dibaca dengan ta’ dan ya’. Ayat ini telah kita temui dulu, dan diulang-ulang untuk menyatakan persamaan dalam perjalanan dan lainnya.
“dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah mukamu ke arahnya!). diulang-ulang untuk memperkuat, “agar tidak ada bagi manusia” baik Yahudi maupun orang-orang Musyrik, “hujjah atas kamu” maksudnya alasan agar kamu meninggalkan dan berpaling ke arah yang lainnya, yakni untuk menyangkal perdebatan mereka kepada kamu, misalnya kata orang-orang Yahudi: “disangkalnya agama kita tetapi diikutinya kiblat kita”, dan kata orang-orang Musyrik: “diakuinya agama ibrahim tetapi disalahinya kiblatnya”. “kecuali orang-orang yang aniaya di antara mereka” disebabkan keingkaran, merek mengtakan bahwa berpalingna Muhammad ke ka’bah itu sebabnya itu tidak lain hanyalah karena kecenderungannya pada agama nenek moyangnya. “istisna” atau pegecualian disini adalah “muttasil” atau berhubungan, dan maksudnya tidak ada omelan seorang kepadamu, selain omelan mereka itu. “maka janganlah kamu takut kepada mereka” maksudnya teramat khawatir disebabkan peralihan kiblat itu, “ tetapi takutlah kepada-Ku” yaitu mengikuti segala perintah-Ku, “dan agar Kusempurnakan “ ‘athaf atau dihubungkan pada “li alla yakuna”, “nikmatk-Ku kepadamu” dengan menuntunmu pada pokok agamamu, “dan uapaya kamu beroleh petunjuk” pada kebenaran.

Asbabun Nuzul
Ayat ke150 diturunkan sehubungan dengan peristiwa yang menyangkut diri Rasulullah SAW . pada suatu ketika Rasulullah SAW memindahkan arah kiblat dari Baitul-Maqdis ke arah Masjidil-Haram, sehingga orang-orang musyrik mengatakan: “sesungguhnya kini Muhammad dibingungkan oleh ajaran agamanya. Dia memindahkan kiblatnya kea rah kiblat kita (Baitul-Maqdis). Sesungguhnya kitalah yang lebih pantas mendapat petunjuk, dan Muhammad kini sudah akan mengikuti agama kita. Ayat ini dturunkan oleh Allah SWT sebagai perintah bagi mereka. Orang-orang yang beriman tidak perlu merasa takut terhadap caci makian orang-orang yang musyrik. (HR. Ibnu Jarir dari Suddi melalui sanad-sanadnya).

Dari seluruh riwayat yang berkaitan dengan peristiwa ini dapat disimpulkan secara global bahwa semenjak diwajibkan shalat kaum muslimin di mekkah menghadap ke ka’bah, tentang hal ini tidak ditegaskan al-qur’an, dan sesudah hijrah mereka menghadap ke baitul maqdis atas perintah Ilahi kepada Rasulullah SAW, tetapi perintah ini tidak melalui al-qur’an. Kemudian turun perintah terakhir melalui al-qur’an yang menghapuskannya:
“…palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya..”(144)
Bagaimanapun, meghadap ke Baitul Maqdis, yaitu kiblat para Ahli kitab dari Yahudi dan Nasrani menjadi factor penyebab orang-orang yahudi memanfaatkan hal ini sebagai alasan untuk bersikap arogan dan enggan masuk ke dalam islam

Munasabah Ayat
Awal ayat ini sama saja redakasinya dengan ayat semua ayat yang lalu, dengan tambahan dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya.
Dengan demikian, ayat ini sudah mencapuk semua tempat dan keadaan. Dari mana saja engkau keluar wahai Muhammad, dari Madinah menuju Mekkah, atau ke Thaif, atau Humain, atau kemana saja, maka arahkanlah wajahmu ke sana. Bukan hanya engkau, ummatmu pun demikian. Di mana saja mereka berada, di Mekkah, atau jakarta, atau di mana saja, disetiap daerah walau terasing atau terpencil, mereka semua ketika shalat harus mengarah kiblat ke Ka’bah.
Di sini terlihat sekali lagi bahwa walaupun pengalihan kiblat ke Ka’bah bermula dari keinginan Nabi Muhammad saw. Dan atas pertimbangan beliau, namun berakhir dengan perintah mengarah kepada semua ummat Islam. Kedudukan dan cinta Allah kepada nabi-Nya ditunjukkan-Nya disini tercermin pula ayat-ayat ini. Itu pula sebabnya sehingga redaksi yang digunakan silih berganti antara redaksi yang bentuk tunggal, yang tertuju kepada Nabi Muhammad saw. Dengan redaksi yang berbentuk jamak untuk seluruh ummatnya. (perhatikan ayat 144-149 dan 150) demikian perintah pengalihan kiblat tertuju kepada Nabi Muhammad saw. Dan ummatnya kapan dan di manapun mereka berada .